Hukum menyimpan uang di bank bisa diperinci sebagai berikut :
Jika
bertujuan mendapatkan bunga, seperti tidak mau untuk menyetorkan uang
kecuali jika mendapatkan bunga, maka ulama’ sepakat hukumnya haram
karena tergolong riba. Allah SWT berfirman :
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah /
275)
>> Jika bertujuan keamanan, tanpa ada keinginan mendapatkan bunga, maka hukumnya boleh.
Namun
perlu diperhatikan, bahwa kegiatan bank dalam mengembangkan setoran
nasabah tidak terlepas dari unsur riba walaupun masih ada kegiatan lain
yang halal menurut syari’at. Karena itu jika benar-benar uang simpanan
kita digunakan untuk kegiatan yang bersifat riba berarti kita telah
membantu bank melakukan hal yang haram, sedangkan membantu perbuatan
dosa adalah sama dengan berbuat dosa. Dengan alasan ini, haram
menyimpan uang di bank.
Hendaknya menghindari bermu’amalah
dengan bank, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak seperti tidak
adanya tempat untuk menyimpan yang aman selain bank atau tidak bisa
menjalankan usahanya kecuali dengan perantara bank, maka diperbolehkan.
Transfer uang via bank hukumnya boleh dan bisa dikategorikan dua akad:
Pertama,
termasuk akad hawalah (pemindahan hutang) dengan pengirim sebagai
muhil, bank sebagai muhal alaih, dan penerima sebagai muhtal apabila
ada transaksi pembayaran dari pengirim ke penerima.
Kedua,
bank berstatus sebagai pihak yang diamanati untuk menyampaikan uang
pada penerima. Bank boleh menggunakan uang tersebut dan mengambil
keuntungan dengan uang itu dengan syarat mendapatkan izin dari pihak
pengirim. Uang kiriman di sini disamakan dengan hutang (qord) bank pada
pengirim, karena itu bank harus melunasinya kepada orang yang dituju
pengirim (penerima). Kategori kedua ini bank dinyatakan sebagai domin.
Menggunakan
ATM hukumnya mengacu pada penyimpanan uang di bank dikarenakan
pengguna ATM harus menanam tabungan terlebih dahulu. Adapun transfer
dengan setoran tunai, maka boleh dengan catatan tidak terjadi riba. Dan
uang yang bercampur dengan uang riba di bank tidak dihukumi haram.
Hutang kepada bank karena ada unsur riba dinyatakan haram tanpa pengecualian (darurat atau tidak).
Pegawai
bank dan penerima hadiah dari bank, hukumnya sebagaimana bermu’amalah
dengan orang yang kebanyakan hartanya haram, perinciannya sebagai
berikut :
* Haram, jika mengetahui dengan yakin bahwa barang yang diterima dari bank adalah hasil riba.
* Makruh, jika ragu-ragu akan kehalalan dan keharamannya.
Namun menurut pendapat Imam Al-Ghozali haram secara mutlak.
Oleh karena itu, jika ada pekerjaan yang lain maka itu lebih selamat.
No comments:
Post a Comment